Aku
dulu pernah bilang, bahwa perjalanan ini akan dua kali lebih melelahkan karena
kamu hanya sendirian. Kamu tak peduli dan malah membalas jika ini adalah bagian
dari pengorbanan. Semua orang melakukannya demi orang yang dicintainya. Sebagai
teman, aku bukannya bosan selalu kamu telepon di tengah malam hanya untuk
mengeluhkan dia yang kembali tak sanggup memenuhi janji. Perjumpaan yang sudah
kalian rencanakan susah payah terpaksa batal dikarenakan mendadak ada
pekerjaannya yang mengharuskannya tidak pergi. Aku sudah bilang, berhentilah
merelakan dirimu di sakiti. Lelaki yang punya pesona dan bisa memperlakukanmu
dengan baik bukan cuma dia.
“Dia
tahu bagaimana cara memperlakukanku layaknya Ratu. Dia bisa membaca segala
keinginanku sebelum aku minta.” Wajahmu muram, tapi matamu masih juga
menyiratkan rindu yang tidak memudar.
“Kalau
begitu kamu pacaran saja dengan dukun atau cenayang. Mereka pasti bisa membaca
pikiranmu sebelum kamu bicara,” kataku agak senewen.
Kamu
tak menanggapi lagi. Malam itu, kamu menghabiskan sekotak tisuku untuk mengusap
tangis. Aku sebetulnya tak tega. Tapi masalah hati bukanlah perkara yang bisa
diselesaikan secara musyawarah. Dalam kasus ini, hanya dua orang yang punya
tanggung jawab penuh bagaimana cara mengatasi, kamu dan dia. Meskipun aku lebih
melihat kamulah yang terus berjuang bagaimana caranya agar tetap bisa
menemuinya barang sebentar. Sedangkan dia hanya mau menemuimu saat dia ingin
melarikan diri dari dunianya.
Aku
telah merelakan diri bolak-balik mengantarmu ke rumah sakit untuk bertemu
dokter saat kamu lagi-lagi tidak bisa tidur selama dua hari. Aku tidak ambil
pusing harus duduk bagai patung dan fokus melihatmu meratapi ketiadaannya saat
menyaksikan film yang pernah kalian tonton berdua. Aku masih tak keberatan jika
harus memasak hanya agar kamu bisa makan, meski sebagian besar hasil kreasiku
berakhir di tempat sampah. Apapun asal bisa berada di dekatmu, entah itu masa
burukmu sekalipun, aku tak masalah.
“Kapan terakhir
kalian mengobrol di telepon?” tanyaku saat menyuapimu dengan bubur ayam yang
kubeli dalam perjalanan menuju ke sini.
“Dua
hari lalu. Tak banyak yang kami bicarakan. Dia hanya bilang bahwa saat pekerjaannya
selesai, dia akan kemari. Aku harus bersabar dulu.”
“Bersabar
dulu?” tanyaku sambil membelalakan mata. “Dia pikir dia siapa sampai bisa
membuatmu harus menghabiskan hidup terikat seperti ini?”
“Aku
yang ingin, Ka. Aku yang sudah menyanggupi diri untuk menunggu. Dia tidak
menyuruhku berusaha, tapi aku bersikukuh.”
Aku
memandangimu tak percaya. “Kenapa kamu mau? Kamu bisa hidup bebas tapi kamu
memilih untuk di pasung.”
“Aku
mencintainya, Ka. Aku nggak bisa melepaskannya. Aku percaya suatu saat arah
hatinya akan berbalik padaku. Cuma waktunya saja yang memang belum pas.”
Kuletakan
mangkuk bubur yang kupegang di atas meja. Takut jadi pelampiasan karena
sekarang aku rasanya ingin membanting sesuatu.
“Tidak
pernah ada waktu yang akan pas untuk kalian berdua,” ujarku dengan nada keras. “Sadarlah
jika dia tidak akan pernah bisa bersamamu. Apa yang kamu harapkan dari seorang
laki-laki yang sejak semula sudah menyatakan diri tak bisa balas mencintaimu?”
Aku
menangkap kecewa dan luka di matamu. Aku kuatkan hati. Jika tidak seperti ini,
kamu tidak akan pernah mau sadar untuk segera bangun dari mimpi.
“Sadarlah,
dia hanya memanfaatkanmu. Dia mau datang ke sini hanya saat dia butuh teman di
tempat tidur. Dia menemuimu saat dia kehabisan ide untuk tulisannya. Dia hanya
mau mengangkat teleponmu setelah sebelumnya kamu meratap dan mengiba padanya.
Apa nggak bisa kamu memandang dirimu dengan lebih berharga? Kenapa remeh sekali
kamu memperlakukan diri sendiri?”
Kamu
terus menghela napas dalam untuk menekan tangis tapi aku tahu kamu tidak akan
sanggup.
“Aku
bukan siapa-siapa, Ka. Bisa bersama seseorang seperti Bima adalah hal yang
tidak pernah berani aku mimpikan. Aku berusaha agar bisa layak untuknya...”
“Kenapa
kamu harus terus menerus melakukan segala sesuatu hanya agar dia melihatmu?”
aku menggigit bibirku sendiri untuk menahan emosi. “Bukan di tangannya
kebahagiaanmu diciptakan. Bukan padanya tujuan dari setiap perjalanan dan karya
yang kamu hasilkan. Bukan cuma dia yang perasaannya harus kamu pedulikan.
Berhentilah pura-pura buta.”
Kamu
mulai menangis lagi. Kepalamu tertunduk namun aku tak melakukan apa-apa. Kamu
tahu, di sini bukan hanya kamu yang sedang memendam cinta. Tapi kamu selalu
menutup mata dan tak mau meluangkan kesempatan yang sama. Kamu memberi batas
seolah kamu hanya boleh di cinta oleh orang yang sebelumnya tidak pernah
berteman denganmu lebih dulu. Padahal aku jauh lebih tahu dan bisa memahami
segala jenis keanehanmu lebih baik dari dia.
“Aku...
nggak bisa...”
“Bukan
nggak bisa, tapi kamu nggak mau,” ucapku tandas. Aku tahu apa konsekuensi yang
akan aku terima jika bicara sekali lagi. Aku siap jika harus kehilanganmu, asal
kamu berhenti dari segala kekonyolan ini. “Kamu jelas tahu kalau jatuh cinta
dan patah hati sudah ada dalam satu paket dan sama-sama butuh keberanian untuk
menghadapinya. Jika kamu tidak siap dengan salah satunya, jangan biarkan dirimu
terjebak di satu sisi saja. Selain buang waktu, kamu juga yang akan rugi.”
Kuhela napas sekali lagi. “Saat esok kamu memutuskan berhenti, kamu pasti akan kaget
dengan ketiadaannya. Kamu mungkin sesekali rindu dengan suara atau keberadaannya.
Akan tetapi, ketimbang mempertanyakan kapan hujan akan reda, bukankah lebih
menyenangkan bermain dan menari di bawah curahnya?”
Aku
bangun dan berjalan meninggalkanmu yang tetap tidak bersuara. Aku sudah
mempersiapkan perpisahan ini jauh-jauh hari. Aku sadar aku bukan lelaki yang
bisa sejajar denganmu karena banyak hal. Tidak berprestasi, tidak
berpenghasilan tinggi, dan tidak bisa menulis puisi. Aku hanya manusia biasa
yang tidak kaya diksi dan tidak mahir bermetafora. Tapi aku percaya diri kalau
perasaanku ini jauh lebih bisa dipertangungjawabkan ketulusannya daripada
dia.
Aku
tahu pasti kamu butuh lebih banyak waktu untuk mencari jalan kembali pada independensimu.
Tak apa. Toh aku tidak akan kemana-mana. Jika suatu hari nanti kamu sudah
selesai dengan luka-luka tentangnya, kamu tahu bisa mencariku di mana.
Rgrds
HL