Social Media

Show, don't tell!

Saat Kamu Memutuskan Berhenti


Aku dulu pernah bilang, bahwa perjalanan ini akan dua kali lebih melelahkan karena kamu hanya sendirian. Kamu tak peduli dan malah membalas jika ini adalah bagian dari pengorbanan. Semua orang melakukannya demi orang yang dicintainya. Sebagai teman, aku bukannya bosan selalu kamu telepon di tengah malam hanya untuk mengeluhkan dia yang kembali tak sanggup memenuhi janji. Perjumpaan yang sudah kalian rencanakan susah payah terpaksa batal dikarenakan mendadak ada pekerjaannya yang mengharuskannya tidak pergi. Aku sudah bilang, berhentilah merelakan dirimu di sakiti. Lelaki yang punya pesona dan bisa memperlakukanmu dengan baik bukan cuma dia.

“Dia tahu bagaimana cara memperlakukanku layaknya Ratu. Dia bisa membaca segala keinginanku sebelum aku minta.” Wajahmu muram, tapi matamu masih juga menyiratkan rindu yang tidak memudar.

“Kalau begitu kamu pacaran saja dengan dukun atau cenayang. Mereka pasti bisa membaca pikiranmu sebelum kamu bicara,” kataku agak senewen.

Kamu tak menanggapi lagi. Malam itu, kamu menghabiskan sekotak tisuku untuk mengusap tangis. Aku sebetulnya tak tega. Tapi masalah hati bukanlah perkara yang bisa diselesaikan secara musyawarah. Dalam kasus ini, hanya dua orang yang punya tanggung jawab penuh bagaimana cara mengatasi, kamu dan dia. Meskipun aku lebih melihat kamulah yang terus berjuang bagaimana caranya agar tetap bisa menemuinya barang sebentar. Sedangkan dia hanya mau menemuimu saat dia ingin melarikan diri dari dunianya.

Aku telah merelakan diri bolak-balik mengantarmu ke rumah sakit untuk bertemu dokter saat kamu lagi-lagi tidak bisa tidur selama dua hari. Aku tidak ambil pusing harus duduk bagai patung dan fokus melihatmu meratapi ketiadaannya saat menyaksikan film yang pernah kalian tonton berdua. Aku masih tak keberatan jika harus memasak hanya agar kamu bisa makan, meski sebagian besar hasil kreasiku berakhir di tempat sampah. Apapun asal bisa berada di dekatmu, entah itu masa burukmu sekalipun, aku tak masalah.

“Kapan terakhir kalian mengobrol di telepon?” tanyaku saat menyuapimu dengan bubur ayam yang kubeli dalam perjalanan menuju ke sini.

“Dua hari lalu. Tak banyak yang kami bicarakan. Dia hanya bilang bahwa saat pekerjaannya selesai, dia akan kemari. Aku harus bersabar dulu.”

“Bersabar dulu?” tanyaku sambil membelalakan mata. “Dia pikir dia siapa sampai bisa membuatmu harus menghabiskan hidup terikat seperti ini?”

“Aku yang ingin, Ka. Aku yang sudah menyanggupi diri untuk menunggu. Dia tidak menyuruhku berusaha, tapi aku bersikukuh.”

Aku memandangimu tak percaya. “Kenapa kamu mau? Kamu bisa hidup bebas tapi kamu memilih untuk di pasung.”

“Aku mencintainya, Ka. Aku nggak bisa melepaskannya. Aku percaya suatu saat arah hatinya akan berbalik padaku. Cuma waktunya saja yang memang belum pas.”

Kuletakan mangkuk bubur yang kupegang di atas meja. Takut jadi pelampiasan karena sekarang aku rasanya ingin membanting sesuatu.

“Tidak pernah ada waktu yang akan pas untuk kalian berdua,” ujarku dengan nada keras. “Sadarlah jika dia tidak akan pernah bisa bersamamu. Apa yang kamu harapkan dari seorang laki-laki yang sejak semula sudah menyatakan diri tak bisa balas mencintaimu?”

Aku menangkap kecewa dan luka di matamu. Aku kuatkan hati. Jika tidak seperti ini, kamu tidak akan pernah mau sadar untuk segera bangun dari mimpi.

“Sadarlah, dia hanya memanfaatkanmu. Dia mau datang ke sini hanya saat dia butuh teman di tempat tidur. Dia menemuimu saat dia kehabisan ide untuk tulisannya. Dia hanya mau mengangkat teleponmu setelah sebelumnya kamu meratap dan mengiba padanya. Apa nggak bisa kamu memandang dirimu dengan lebih berharga? Kenapa remeh sekali kamu memperlakukan diri sendiri?”

Kamu terus menghela napas dalam untuk menekan tangis tapi aku tahu kamu tidak akan sanggup.

“Aku bukan siapa-siapa, Ka. Bisa bersama seseorang seperti Bima adalah hal yang tidak pernah berani aku mimpikan. Aku berusaha agar bisa layak untuknya...”

“Kenapa kamu harus terus menerus melakukan segala sesuatu hanya agar dia melihatmu?” aku menggigit bibirku sendiri untuk menahan emosi. “Bukan di tangannya kebahagiaanmu diciptakan. Bukan padanya tujuan dari setiap perjalanan dan karya yang kamu hasilkan. Bukan cuma dia yang perasaannya harus kamu pedulikan. Berhentilah pura-pura buta.”

Kamu mulai menangis lagi. Kepalamu tertunduk namun aku tak melakukan apa-apa. Kamu tahu, di sini bukan hanya kamu yang sedang memendam cinta. Tapi kamu selalu menutup mata dan tak mau meluangkan kesempatan yang sama. Kamu memberi batas seolah kamu hanya boleh di cinta oleh orang yang sebelumnya tidak pernah berteman denganmu lebih dulu. Padahal aku jauh lebih tahu dan bisa memahami segala jenis keanehanmu lebih baik dari dia.

“Aku... nggak bisa...”

“Bukan nggak bisa, tapi kamu nggak mau,” ucapku tandas. Aku tahu apa konsekuensi yang akan aku terima jika bicara sekali lagi. Aku siap jika harus kehilanganmu, asal kamu berhenti dari segala kekonyolan ini. “Kamu jelas tahu kalau jatuh cinta dan patah hati sudah ada dalam satu paket dan sama-sama butuh keberanian untuk menghadapinya. Jika kamu tidak siap dengan salah satunya, jangan biarkan dirimu terjebak di satu sisi saja. Selain buang waktu, kamu juga yang akan rugi.” Kuhela napas sekali lagi. “Saat esok kamu memutuskan berhenti, kamu pasti akan kaget dengan ketiadaannya. Kamu mungkin sesekali rindu dengan suara atau keberadaannya. Akan tetapi, ketimbang mempertanyakan kapan hujan akan reda, bukankah lebih menyenangkan bermain dan menari di bawah curahnya?”

Aku bangun dan berjalan meninggalkanmu yang tetap tidak bersuara. Aku sudah mempersiapkan perpisahan ini jauh-jauh hari. Aku sadar aku bukan lelaki yang bisa sejajar denganmu karena banyak hal. Tidak berprestasi, tidak berpenghasilan tinggi, dan tidak bisa menulis puisi. Aku hanya manusia biasa yang tidak kaya diksi dan tidak mahir bermetafora. Tapi aku percaya diri kalau perasaanku ini jauh lebih bisa dipertangungjawabkan ketulusannya daripada dia. 

Aku tahu pasti kamu butuh lebih banyak waktu untuk mencari jalan kembali pada independensimu. Tak apa. Toh aku tidak akan kemana-mana. Jika suatu hari nanti kamu sudah selesai dengan luka-luka tentangnya, kamu tahu bisa mencariku di mana.



Rgrds



HL