![]() |
“Temukan sisi komedi dari setiap peristiwa, maka kamu tidak akan terlalu banyak khawatir,”
Begitu kira-kira ucapan DAN pada saya beberapa waktu silam. Agak sedikit lupa tepatnya kami habis berdiskusi tentang apa, tapi saya selalu menyenangi epilog dari setiap percakapan yang selalu DAN berikan.
Beliau selalu bisa memposisikan diri sebagai teman ngobrol, lawan debat, orang tua bahkan newbie yang musti saya kasih tahu beberapa info baru. Walau kemudian kebanggaan saya di patahkannya dengan satu kalimat pendek. “Oh, itu, ora penting.” #ngemilbantalankereta
Yah, DAN itu memang banyak tau (maklum, memang udah tua :-D) dan sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan *tssaaah*. Kadang saat berdiskusi mengenai beberapa hal dengan beliau, pikiran saya mendadak terang sendiri dan langsung terpikir ide-ide gila yang sekaligus saya sortir untuk bisa dimasukan dalam tulisan. Siapa tahu bisa bermanfaat dan memberi inspirasi gitu ceritanya.
Satu kesempatan saya curcol ke DAN mengenai keresahan hati saya selama ini. Mengenai karir, pekerjaan, cita-cita dan cinta *wink*.
“Aku mau ke Cirebon lagi. Mau ‘menyamar’ lagi, entah jadi apa. I need a job,” ucapku saat itu.
“Kenapa? Di Yogya nggak ada pekerjaan yang mengesankanmu?” DAN balik tanya.
“Banyak. Tapi entah, di sini aku tetap merasa asing. Mungkin karena aku masih belum punya banyak teman.”
“Carilah. Toh, kita mau apa lagi kalau tidak bersenang-senang?” ujarnya lalu menyisipkan emot smile-kiss.
Kadang aku membatin jika mendapat kalimat DAN yang luar biasa optimis dan terkesan ‘aman’ ini. Kamu enak, sudah ada di titik aman tentram. Lah aku?
“Iya, bersenang-senang, kan, butuh modal,” kataku lesu.
“Modal tidak selalu berbentuk uang,” sergahnya lagi.
“Tapi aku nggak pedean. Bahkan pada apa yang udah aku kerjakan. Aku sebetulnya nggak begitu perlu pujian, tapi toh yang jangan diabaikan juga.”
“Itulah masalahmu. Kamu terfokus pada apa yang nggak ada. Bukan pada apa yang sedang kamu miliki. Sudahlah, sayangku, cantik, bebaskan pikiranmu. Kamu itu pinter, kok rela buang waktu hanya demi hal yang nggak perlu. Sudah. Nonton india aja. Di M*C ada Kuch Kuch Hota Hai. Lumayan untuk mengurangi stres. Ingat! Cari sisi komedinya. Sepahit, sesulit dan sesakit apapun, pasti ada titik yang bisa kita tertawakan.”
Saya menyeringai. Dia tahu betul jika saya sudah berada di titik stres dan memang butuh hiburan. Ucapannya juga kadang bisa jadi hiburan tersendiri. Tapi kali ini, sepertinya ‘stres’ saya ini tidak bisa dipugar oleh wajah ganteng masa muda Shahrukh Khan yang dulu bikin saya susah tidur.
Saya butuh rasa nyaman dan sebuah pelukan. Saya rindu Papa. Saya rindu bicara padanya di saat dia sedang menyortir pisang atau sedang menonton bola. Saya rindu tatapannya, rindu ejekannya, rindu cara dia mempercayai saya, rindu pada kesederhanaannya, rindu pada kecuekannya, rindu pada marahnya apabila saya lupa mematikan kipas angin di pagi hari. Saya butuh sentuhannya yang kecil tapi sanggup melunturkan segala ketakutan yang menguasai. Meskipun karena sakitnya kini, bentuk tubuhnya sudah mirip ayahnya Po, Li Shan, tapi saya tetap cinta dia. Walau dia keras kepala *98 % nyaris menurun ke saya semua*, tapi saya rindu cara dia membantu saya mengatasi kekhawatiran saya.
Sayangnya, saya belum bisa menemukan sisi komedi dari apa yang sedang saya alami ini. Di saat saya sudah optimis dan percaya diri, lagi-lagi Tuhan memberi saya kejutan di penghujung hari. Entah Tuhan ini mau membuat saya sebesar apa, tapi lagi-lagi kejutannya ini membuat lutut lemas sampai saya kehilangan selera dalam banyak aspek.
“Tiadakan kata harus, Sayang. Kamu akan lebih mudah mengatasi tantangan jika kamu tidak terbebani keharusan ini-itu.”
Ucapan DAN, sewaktu hendak menonton konser Kenny G beberapa bulan lalu kembali terngiang.
“Kamu sepertinya belum sembuh dari patah hatimu, makanya kamu selalu mencari celah pembenaran dari argumenmu sendiri. Tidak ‘harus’, Na. ‘Tidak harus’,” ucap DAN lagi.
Berat. Sungguh. Ketika saya merasa mimpi saya untuk bisa menjadi seorang mahasiswi sudah dekat, justru saya harus menghadapi kenyataan kalau tidak sekarang waktunya. Bukan sekarang.
“Kamu pengin banget kuliah?” tanya Papa malam itu.
Saya mengangguk. “Na pengin jadi satu-satunya anak dalam keluarga yang jadi sarjana. Mungkin itu nggak begitu penting, tapi dengan ilmu, kita akan jauh lebih dihargai. Na pengin bikin film buat Papa-Mama suatu hari. Papa juga tahu, pengangguran dan tak punya ilmu itu nggak ada harganya, Pah.”
Papa diam agak lama. Mungkin dia meresapi apa yang saya ucapkan. Atau mungkin sedang tak punya balasan untuk apa yang saya katakan.
Memang malam itu, tak ada penyelesaian yang saya dapatkan. Papah tak bisa membantu bukan karena tak ingin, saya tahu itu.
Temukan sisi komedi, temukan sisi komedi... sebentar. Mungkin jika saya mendalami, bisa saya temukan satu kesimpulan yang bisa saya tertawai. Tapi sampai kemarin, saya tidak juga tertawa. Saya tetap muram, tetap sedih jika ingat sepertinya kedatangan saya ke Yogya jadi sia-sia. Saya tidak ingin menyesalkan apa yang sudah terjadi, tapi saya masih belum mengerti, kenapa Tuhan mengubah keputusannya hanya dalam hitungan hari. Eh, salah, dalam hitungan jam. Segala persiapan, semangat, antuasiasme, khayalan, draft naskah, sedikit ilmu yang pernah saya dapatkan... entah harus saya apakan?
Menyinggung tentang ‘sisi komedi’ sendiri, sewaktu bekerja dan hidup di Jakarta dulu, saya dan seorang teman-kakak-sekaligus rekan kerja di penerbitan di Jakarta sering sekali mentertawakan ketidakberuntungan kami dalam banyak hal. Hampir setiap saat, setiap kali pergi ke kantor, sehabis jalan ke Penvil atau nonton bioskop. Pokoknya ada pemandangan yang ‘nyentil’ sedikit saja, kami langsung sensitif. *ketahuan banget jomblo tahunan.
Satu kali, ketika dia baru pulang dari gereja, kehujanan dan kebetulan juga dia belum makan, duduk merosot di lantai sambil menangis. Bukan karena baju baru yang minggu lalu kami beli kebasahan, atau sepatu lamanya yang semakin terlihat memprihatinkan, tapi isi khotbah pendeta yang dia dengar tadi tentang ‘Tuhan Maha Adil’ malah membuatnya mewek bombai.
“Gue tadi berdoa sama Tuhan. Ya, Tuhan. Kalau aku nggak beruntung di pekerjaan, setidaknya aku beruntung dalam cinta. Ada kek gitu lelaki yang bisa cinta samaku, yang sayang samaku, yang bisa jaga aku. Ini mah kerjaan ya nggak bahagia, dalam urusan cinta juga yang kudu nelangsa. Tuhan kayaknya cuma adil sama cewek-cewek manja aja, ya, No?! Sama cewek yang mandiri kayak kita, yang fighting kayak kita, yang tahu apa yang harus di lakuin kayak kita, Tuhannya malah bingung sendiri mau ngasih cowok macam apa.”
Lucunya, kadang, kami menangis bergantian. Kadang saya duluan yang ujug-ujug mewek karena ingat sesuatu yang menyakitkan. Lalu teman saya ini akan jadi penasihat sekaligus orang yang menguatkan. Esokannya, giliran dia yang menangis dan saya yang menguatkan. Tapi ada lagi di lain hari, kami kompak menangis karena ingat gajian masih lama sementara kami sudah tidak pegang uang makan.
Saya ingat betul, Jakarta di bulan itu memang sedang musim hujan. Hampir setiap sore hujan. Tapi ada hujan yang jauh lebih deras dari yang terjadi di luar. Hujan di rumah bu Haji Khodijah di terusan gaharu no 38 A, di ruang tengah kamar kos kami, kami berdua, anak perantauan Medan dan Cirebon menangisi ketidakberuntungan kami. Tapi sehabis itu, karena sadar kami juga belum makan, kami pun menyudahi kelebayan nangis berdua dan sepakat untuk minta mi instan sama Bu Haji... sembunyi-sembunyi.
Regards
HL