![]() |
Aku sedang kangen kamu. Ah, kamu pasti langsung memicingkan mata. Kapan aku tidak kangen kamu, kamu pasti bergumam begitu.
Kali ini,
kangennya sungguh aneh. Aku sampai terbangun di tengah tidurku, kemudian
teringat hal-hal yang dulu jadi rutinitas kita, kemudian menangis begitu saja.
Aku kangen bercanda selepas-lepasnya bersamamu. Kangen membicarakan apa saja,
seringnya, sih, memang dari aku yang cerita. Kamu yang jadi pendengar.
Sesekali
kamu merespon dengan apa yang kuceritakan. Kadang responnya menyebalkan, karena
memotong keseruanku saat bicara. Tapi aku menikmati itu. Aku menikmati
bagaimana caramu memandangku dengan khusyuk saat aku mengadukan ini itu padamu.
Aku kangen
pada kamu yang menerimaku dengan keseleboran dan kadang ketidaktahuanku pada
beberapa hal. Namun ucapanmu jadi motivasiku untuk tahu lebih banyak, membaca
lebih banyak, berinteraksi dengan orang banyak dan membuatku mengeksplore apa
yang sungguh bisa aku lakukan. Rasanya, dulu, alasanku bisa betah berlama-lama
bersamamu adalah karena kamu yang membiarkan aku tidak perlu menjadi
siapa-siapa. Disitulah... aku merasa aku jatuh cinta.
Aku kangen kita...
Aku kangen
kamu yang tiba-tiba memelukku dan membisikan, ‘Aku kangen kamu loh’. Aku kangen
kamu yang, tidak sedang diterpa badai, mendadak membawakan setangkai mawar
merah yang entah dimana kamu menyembunyikannya. Mawar itu kamu sodorkan ketika
aku sedang menyelesaikan bab tulisanku, lalu mencium pipiku dan berkata, ‘Buat
kamu!’.
Aku kangen
kamu yang banyak mereferensikan lagu dan selalu menjadi favoritku. Aku kangen
kamu yang mengajakku melihat dunia lebih besar dan mengangkat daya imajiku
lebih tinggi hingga aku tak lagi takut bermimpi. Aku kangen kamu yang
membiarkanku tidur di lenganmu. Aku kangen kamu yang secara spontan mencium
bibirku ketika aku berpikir tak akan pernah lagi mendapatkannya.
Keanehan lain
terjadi. Ketika tanpa sengaja aku melintasi tempat yang pernah kita berada di
sana, otomatis aku teringat bagaimana kita saat itu. Atau ketika aku melihat
tempat yang pernah aku ajukan padamu untuk kita kunjungi, dan saat itu kamu
menolak mentah-mentah, hatiku kontan seakan disayat. Perih, mendengarnya.
Ingat
juga bagaimana ekspresimu yang memang seakan tidak ingin mengajak aku ke situ.
Lalu kamu mengajakku pulang, sebab kamu lebih memilih menemani dia. Padahal ada
aku, persis di depanmu, mati-matian menahan tangis dan berharap bisa
mengucapkan, ‘Aku mohon kali ini jangan pergi menemuinya. Hari ini milikku,
jangan pedulikan dia’. Namun tak bisa. Kalimat itu tetap berlarian di lorong
kepala.
Brengseknya.
Aku tetap kangen kamu. Aku tetap selalu menantikan teleponku berdering dan
namamu yang muncul di layarnya. Aku tetap selalu menunggu pesan balasan darimu
datang. Aku tetap selalu berharap bisa mengirimimu pesan setiap waktu, di
saat-saat aku paling perlu keberadaanmu. Saat aku sakit, aku ingin kamu ada, menemaniku,
sampai aku tidur karena lelah terjaga. Tapi sampai aku merasa sakitku membaik,
kamu tak menemukan alasan untuk menemuiku.
Begitu
banyak alasan bagus untukku pergi. Terlalu sering kamu membuat mata dan pipiku
basah karena air mata. Terlalu sering kamu mematahkan ekspektasiku tentang
akhir pekan yang menyenangkan, berdua bersamamu, pergi ke tempat bagus, seperti
yang dulu pernah beberapa kali kita lakukan.
Kamu ingat,
kapan kita terakhir, benar-benar hanya ada kita saja, fokus pada perjalanan
dimana kita berada? Yang terjadi, setiap berjumpa, kamu selalu gelisah, setiap
kali dia mengirimu pesan. Tidak ingin dia curiga, tidak ingin dia khawatir,
jadi kamu tetap fokus pada ponselmu. Padahal pertemuanmu dengannya, setiap
hari. Sementara aku, seminggu sekali pun tidak pernah full sehari.
Hanya
beberapa jam saja. Setiap kali aku sedang mematik apinya, kamu selalu harus
segera pergi. Padahal kamu bertemu dengannya setiap hari, sementara denganku sekarang
mengobrol saja selalu di negoisasi. Setiap aku ingin banyak bicara padamu, kamu
pulang dengan kelelahan setelah pergi bersamanya. Sementara esoknya, ketika aku
masih ingin mencoba membuat bara, kamu sibuk lagi, dan membalas pesan ketika
hendak pergi... lagi, dengannya.
Setidakmenarik itukah aku di matamu, sampai
berusaha betah saat bersamaku saja tidak mampu?
Aku ingin kita kembali...
Aku
kehilangan kebiasaanmu, candaanmu, kenyamananmu, ‘sayang’mu, dan intensitas
kita dulu. Seakan ada yang bolong di dalam sini, dan hanya kamu yang bisa
mengisi. Karena potongannya itu berupa kamu. Bagaimana agar kamu paham bahwa...
aku cuma tidak ingin ditinggal pergi.
Aku sungguh
kangen kita...
Ada sebagian
dariku yang masih mau menunggu sampai kamu dapat melihat bahwa bukan hanya dia
yang perlu kamu tunggui setiap hari. Bukan hanya dia yang perlu kamu antar ke
sana kemari. Bukan hanya dia yang perlu kamu jadikan rutinitasmu.
Aku tidak
ingin makan sendiri, pergi beli odol sendiri, atau berjalan sendiri lagi. Aku
juga memerlukan itu. Dan aku rasa kamu melihat itu, tapi tidak mau mengabulkan
keinginanku. Apa yang salah denganku? Perasaanku juga menunggu kamu.
Sungguh aku tidak
suka ini. Aku tidak suka aku yang seakan mengemis perhatianmu. Kamu pasti
menyadari betul aku juga berhak atas hal tersebut. Aku tak perlu sampai menagih
atau menuntut kamu harus bagaimana. Tapi kenapa semakin ke sini, kamu seperti
semakin sulit disentuh. Kamu sepertinya jauh sekali.
Aku kangen
kamu. Kangen kita. Sampai sakit rasanya ketika aku meneteskan airmata.
Rgrds/ hl