Social Media

Show, don't tell!

Ketika Tuhan Datang Bertamu

Ketika Tuhan Datang Bertamu
 
Hari ini Tuhan akan datang.

Aku gugup bukan kepalang. Apalagi Kak Yessy mengabarkan Tuhan hendak datang hanya untuk mencoba makananku. Kira-kira apa yang harus kusajikan padanya? Karena informasinya mendadak dan mendesak, aku hanya memiliki sedikit bahan yang bisa kumasak untuk-Nya. Aku tahu dia akan memakan apapun yang kumasak selama itu masih bisa dikonsumsi. Tapi aku tidak boleh mengecewakan-Nya sebab ini pertama kalinya DIA datang secara langsung untuk menyapaku.

Setidaknya aku harus berdandan mungkin nanti selesai masak. Aku tidak boleh kelihatan kucel atau tak terawat. Meski hidupku sedang susah, tapi Tuhan jangan sampai tahu kesulitanku. Tuhan harus tahu aku tetap tabah dan bersemangat meski di tengah-tengah keprihatinan.

“Jam berapa DIA tiba, Kak?” tanyaku pada Kak Yessy.

“Sekitar pukul empat, No,” katanya menjawab dengan terburu-buru. “Maaf, aku juga nggak tahu habis dariku dia mau langsung ke tempatmu. Memang nggak ada capeknya Tuhan itu.”

“Ya, setahuku Tuhan nggak pernah capek. Kita aja yang suka gampang nyerah.”

Tawa Kak Yessy berderai panjang. “Oke, deh. Sana siap-siap. Kamu nggak punya waktu banyak. Masakan yang paling istimewa darimu.”

Aku tersenyum pahit. Senyum yang tak dapat dia lihat. “Pasti, Kak.”

“Ah, aku jadi kangen masakanmu, No. Oke, aku tutup dulu.”

“Oke, sampai nanti.”

“Sampai nanti.”

Setelah telepon berakhir, aku langsung masuk dapur dan mengoprek bahan-bahan apa saja yang tersisa. Dan aku terpikirkan satu menu ketika melihat spageti dan beberapa udang kupas, cumi-cumi serta daging kepiting. Baiklah, aku mungkin tinggal mengecek stok cooking cream, keju parmesan, dan sedikit susu. Setelah bahan masakanku komplet, segera ku siapkan panci untuk merebus spagetiku.

Sambil menunggu spagetiku al dente, aku terdiam. Berbulan-bulan aku terpenjara oleh pikiranku sendiri. Pikiran mencintai sesuatu yang tak berhenti. Pikiran tentang ketakutan-ketakutanku selama ini. Penjara tak kasat mata yang memasung kaki dan memaksaku untuk tidak pergi. Aku punya kesempatan kabur berkali-kali. Namun yang kulakukan justru tetap menunggunya kembali.

Tuhan pasti akan mentertawakan kebodohanku, sama seperti bumi dan langit yang tak henti meledekku tentang ketololanku kemarin. Meski sekarang aku sudah lebih sadar, entah kenapa hatiku masih selalu saja sakit setiap kali ingat betapa aku membuang waktu berhargaku untuk seseorang yang tak pernah menganggapku seberharga itu. Hatiku masih perih setiap kali ingat berapa banyak penantian yang kulakukan atau berliter air mata yang kukeluarkan untuk dia. Alarmku berbunyi. Spagetiku matang sempurna sekarang.

Sambil kutiriskan spageti, aku masih mengingat bagaimana dulu Tuhan memperingatkanku.

“Jangan terlalu berharap pada manusia. Sakit nanti.”

Aku bergeming. Disodori seseorang yang mampu paham apa yang kumau dan bagaimana aku membuatku abai pada peringatan-Nya. Padahal mungkin saat itu dia bukan saja sudah menyalakan rambu kuning, tapi rambu merah meski merahnya belum menyala sepenuhnya.

Aku mulai merajang bawang putih, menyiapkan minyak zaitun, cooking cream, susu, dan keju parmesan di dekat kompor. Tak lupa daun salam dan sedikit oregano untuk menambah kuat aroma.

Spageti carbonara seafood andalanku tersaji lima belas menit kemudian seiringan dengan berbunyinya bel kosan. Aku tersenyum. Tuhan memang jarang terlambat. Mungkin karena sikap apatis hamba-Nya akhir-akhir ini, Tuhan pun ingin memperbaiki citra diri-Nya dengan datang ontime saat dinantikan.

Setelah spagetiku terhidang di meja, aku segera menuju pintu dan membukanya. Tuhan tersenyum. Aku balas tersenyum agak kikuk. Seakan kedatangan superstar. Padahal dia bekennya melebihi superstar, ya.

“Mari masuk,” kataku sopan.

“Dari aromanya, sepertinya kamu sudah masak,” ujarnya sambil masuk, mengikuti langkahku.

“Iya. Sudah kubuatkan spageti carbonara seafood andalanku, Tuhan.”

“Wah, sepertinya enak,” komennya sambil menggosok-gosokan tangan. “Tapi awas. Gini-gini aku gourmet loh.”

Aku sudah duga dia akan mengeluarkan kalimat itu.

“Karena itu aku menyajikan itu. Kamu harus bisa menebak komposisi cooking cream, susu dan parmesan yang jadi kekhasan di sajianku ini lebih dominan yang mana?”

Tuhan tergelak. Seperti geli sekali. Aku sepertinya sedang kelewatan. Membercandai Tuhan sendiri.

Kupersilakan Tuhan duduk. Karena aku tahu dia sibuk sekali mengurusi banyak hamba-Nya, makanya kupercepat saja sesi ini. Toh dia pasti datang hanya untuk menceramahiku tentang hidup. Materi spesifiknya apa, itu saja yang belum kutahu.

Dia lalu mendekatkan hidungnya pada piring, mengendus masakanku dan tersenyum tipis.

“Ya, ini masakanmu, Sayang. Bawang yang kamu tumis di awal sepertinya dimasak dengan api yang sedang.”

Giliran aku yang tersenyum. Hebat, ya, dia. Proses yang nyaris tak terlihat itu saja DIA bisa tahu.

Dia lalu menggulung spageti dengan garpu dan menyuapkannya ke mulut. Mencecap dengan ekspresi yang belum bisa kuprediksi. Semoga Tuhan ke sini dalam keadaan tidak sangat kelaparan. Sebab kondisi tersebut akan membuat sedikit ketimpangan opini.

“Enak. Cumi-cuminya kamu masak dengan baik. Tidak terlalu lama dan tidak sebentar juga. Pas.”

Jika saja bisa, ingin kudongakan kepalaku tinggi-tinggi. Hanya saja posisi-Nya melebihi apapun di jagat raya ini. Aku tak berani.

Di suapan ke empat dia berhenti. Mengelap mulutnya dengan tisu dan meminum air putihnya sampai habis.

“Masakanmu enak,” pujinya tulus.

Aku tersenyum getir. “Tapi tak sanggup membuatku di bilang hebat.”

Tuhan menggeleng pelan. Saking pelannya, aku seakan tak melihat kepalanya bergerak. “Di mataku, kau begitu.”

“Hanya Kau yang bilang.”

“Setidaknya ada yang menyadari kalau kau hebat, Na,” tandasnya. “Apa aku saja nggak cukup membuatku senang?”

Aku tidak tahu. “Entahlah. Hanya saja, aku sering kali diabaikan.”

“Hah, kau ini. Jangan pernah merasa bahwa kesengsaraanmu di muka bumi adalah tingkat sengsara yang terparah. Jangan pernah berani berpikir demikian. Aku tidak suka, Sayang. Kamu itu dicintai. Dengan sangat jelas dan nyata. Olehku. Apalagi yang kurang?”

“Kenapa aku tidak seberuntung teman-temanku yang lain?”

“Kenapa teman-temanmu tidak seberuntung kamu?”

“Hah?”

“Ya, itu pertanyaan yang sama, yang mereka tanyakan padaku, Sayang. Banyak orang yang ingin jadi sepertimu. Kuat, mandiri, mampu memecahkan masalah sendiri, dan tak butuh orang lain untuk bisa berdiri. Tak banyak yang bisa bertahan sepertimu. Beberapa ada yang membuang kesempatan emas untuk hidup dan menyudahi kontrak napasnya denganku. Kenapa? Mereka tidak sekuat kau.”

“Kan, tingkat kuatnya beda-beda.”

“Itulah, Sayang. Jadi jangan pernah mengukur baju orang lain ke tubuhmu. Hidupmu sudah begini indahnya, mengapa kamu terus mengeluhkan ini-itu?”

Aku mulai merasa malu. Ya, dia benar. Pasti banyak orang yang mendambakan bisa sepertiku. Namun mereka tidak seberuntung aku.

“Berhentilah mengukur baju orang lain ke tubuhmu. Oke?”

Aku mengangguk. Tuhan lalu berdiri dan merogoh saku celananya.

“Karena ini kunjungan pertamaku dan anggaplah aku salah satu pembelimu, izinkan aku untuk membayar makananku.”

DIA lalu menyodorkan selembar uang lima ribu. Aku terkekeh.

“Tuhan, uang segitu beli bawang aja kurang.”

Tuhan ikut terkekeh. “Ya, aku memang tidak pernah memiliki banyak uang. Tapi aku harus tetap membayar ini. Aku tidak mau berhutang padamu.”

“Baiklah, berikan aku apapun yang penting untukmu.”

Tuhan berpikir sebentar kemudian tersenyum. “Baiklah. Akan kukabulkan salah satu dari dua doa di top list-mu? Bagaimana?”

Aku berpikir cepat. Apa, ya, dua doa yang sedang sering kupanjatkan pada-Nya. Aku kok bisa mendadak lupa.

“Baiklah. Doanya apa saja?” tanyaku kemudian.

“Doa yang pertama berbunyi karir gemilang. Doa yang kedua berbunyi jodoh. Yang mana yang ingin aku kabulkan?”

Aku tersentak. Tuhan sendiri yang langsung bertanya. Aku harus menjawab apa, ya. Dua-duanya doa prioritas, sih. Tapi dasar Tuhan. Suka banget ngasih pilihan sulit.

Namun dalam waktu lima belas detik hati nuraniku berkata. Aku pun segera menjawab.

“Jodoh, Tuhan.”

Mata Tuhan menyipit. “Boleh tahu kenapa memilih itu?”

“Karena aku minta jodohku adalah seseorang yang kaya.” Tuhan tersenyum. Dia sudah sangat mengerti aku memang. “Bukan hanya harta, tapi juga hati. Yang tidak akan berdaya untuk menyakitiku karena takut akan Engkau. Yang tidak akan sanggup meninggalkanku apalagi hanya untuk seseorang yang lain. Yang menyayangiku sama seperti aku menyayanginya. Yang akan menghormati keluargaku, yang sama aku hormati juga keluarganya.”

Aku melanjutkan. “Jadi tidak apa-apa jika karirku belum gemilang dan harus mengurus hidup bersama suamiku dulu. Sebab bersama dia, aku nggak akan butuh apa-apa lagi. Aku akan cukup jika dia membebaskanku tetap berkarya, berkeliling dunia, dan terus menulis lagi. Dan dengan dia aku juga pasti bisa buka restoranku sendiri.”

Tuhan mengangguk. “Baiklah kupertimbangkan dulu calon yang cocok dan segera akan kukirimkan padamu. Tanpa pos, tanpa titipan kilat apalagi jasa antar.”

Aku terlonjak girang. “Terima kasih, Tuhan.”

“Terima kasih juga untuk masakannya. Ini enak sekali.”

Aku mengantar Tuhan sampai di depan pintu. Sebelum dia meninggalkan rumah, dia sempat menyalami aku dan menggenggamkan sebuah kertas kecil. Aku sontak tersenyum geli saat membuka isi tulisan di kertas tersebut.

“Lengkapi doamu dengan menyebutkan nama dia, tanggal lahir, nama marga, nama keluarga, nama ayah ibu, orang mana, suku apa, bahasanya apa, agamanya apa, apa golongan darahnya, apa bintangnya dan seperti apa orangnya secara keseluruhan agar aku nggak bingung. Kamu bikin karakter cerita aja kudu komplit kan?!”

Aku  menutup pintu sambil tetap tersenyum. Tuhan kadang suka bikin gemes-gemes gimana gitu.



rgrds/ HL