![]() |
Hari ini Tuhan akan datang.
Aku
gugup bukan kepalang. Apalagi Kak Yessy mengabarkan Tuhan hendak datang hanya
untuk mencoba makananku. Kira-kira apa yang harus kusajikan padanya? Karena
informasinya mendadak dan mendesak, aku hanya memiliki sedikit bahan yang bisa
kumasak untuk-Nya. Aku tahu dia akan memakan apapun yang kumasak selama itu masih
bisa dikonsumsi. Tapi aku tidak boleh mengecewakan-Nya sebab ini pertama
kalinya DIA datang secara langsung untuk menyapaku.
Setidaknya
aku harus berdandan mungkin nanti selesai masak. Aku tidak boleh kelihatan
kucel atau tak terawat. Meski hidupku sedang susah, tapi Tuhan jangan sampai
tahu kesulitanku. Tuhan harus tahu aku tetap tabah dan bersemangat meski di
tengah-tengah keprihatinan.
“Jam
berapa DIA tiba, Kak?” tanyaku pada Kak Yessy.
“Sekitar
pukul empat, No,” katanya menjawab dengan terburu-buru. “Maaf, aku juga nggak
tahu habis dariku dia mau langsung ke tempatmu. Memang nggak ada capeknya Tuhan
itu.”
“Ya,
setahuku Tuhan nggak pernah capek. Kita aja yang suka gampang nyerah.”
Tawa
Kak Yessy berderai panjang. “Oke, deh. Sana siap-siap. Kamu nggak punya waktu
banyak. Masakan yang paling istimewa darimu.”
Aku
tersenyum pahit. Senyum yang tak dapat dia lihat. “Pasti, Kak.”
“Ah,
aku jadi kangen masakanmu, No. Oke, aku tutup dulu.”
“Oke,
sampai nanti.”
“Sampai
nanti.”
Setelah
telepon berakhir, aku langsung masuk dapur dan mengoprek bahan-bahan apa saja
yang tersisa. Dan aku terpikirkan satu menu ketika melihat spageti dan beberapa
udang kupas, cumi-cumi serta daging kepiting. Baiklah, aku mungkin tinggal
mengecek stok cooking cream, keju parmesan, dan sedikit susu. Setelah bahan
masakanku komplet, segera ku siapkan panci untuk merebus spagetiku.
Sambil menunggu
spagetiku al dente, aku terdiam. Berbulan-bulan aku terpenjara oleh pikiranku
sendiri. Pikiran mencintai sesuatu yang tak berhenti. Pikiran tentang
ketakutan-ketakutanku selama ini. Penjara tak kasat mata yang memasung kaki dan
memaksaku untuk tidak pergi. Aku punya kesempatan kabur berkali-kali. Namun yang
kulakukan justru tetap menunggunya kembali.
Tuhan
pasti akan mentertawakan kebodohanku, sama seperti bumi dan langit yang tak
henti meledekku tentang ketololanku kemarin. Meski sekarang aku sudah lebih
sadar, entah kenapa hatiku masih selalu saja sakit setiap kali ingat betapa aku
membuang waktu berhargaku untuk seseorang yang tak pernah menganggapku
seberharga itu. Hatiku masih perih setiap kali ingat berapa banyak penantian yang
kulakukan atau berliter air mata yang kukeluarkan untuk dia. Alarmku berbunyi. Spagetiku
matang sempurna sekarang.
Sambil
kutiriskan spageti, aku masih mengingat bagaimana dulu Tuhan memperingatkanku.
“Jangan
terlalu berharap pada manusia. Sakit nanti.”
Aku
bergeming. Disodori seseorang yang mampu paham apa yang kumau dan bagaimana aku
membuatku abai pada peringatan-Nya. Padahal mungkin saat itu dia bukan saja
sudah menyalakan rambu kuning, tapi rambu merah meski merahnya belum menyala
sepenuhnya.
Aku
mulai merajang bawang putih, menyiapkan minyak zaitun, cooking cream, susu, dan
keju parmesan di dekat kompor. Tak lupa daun salam dan sedikit oregano untuk
menambah kuat aroma.
Spageti
carbonara seafood andalanku tersaji lima belas menit kemudian seiringan dengan
berbunyinya bel kosan. Aku tersenyum. Tuhan memang jarang terlambat. Mungkin
karena sikap apatis hamba-Nya akhir-akhir ini, Tuhan pun ingin memperbaiki
citra diri-Nya dengan datang ontime saat dinantikan.
Setelah
spagetiku terhidang di meja, aku segera menuju pintu dan membukanya. Tuhan
tersenyum. Aku balas tersenyum agak kikuk. Seakan kedatangan superstar. Padahal
dia bekennya melebihi superstar, ya.
“Mari
masuk,” kataku sopan.
“Dari
aromanya, sepertinya kamu sudah masak,” ujarnya sambil masuk, mengikuti
langkahku.
“Iya.
Sudah kubuatkan spageti carbonara seafood andalanku, Tuhan.”
“Wah,
sepertinya enak,” komennya sambil menggosok-gosokan tangan. “Tapi awas. Gini-gini
aku gourmet loh.”
Aku
sudah duga dia akan mengeluarkan kalimat itu.
“Karena
itu aku menyajikan itu. Kamu harus bisa menebak komposisi cooking cream, susu
dan parmesan yang jadi kekhasan di sajianku ini lebih dominan yang mana?”
Tuhan
tergelak. Seperti geli sekali. Aku sepertinya sedang kelewatan. Membercandai Tuhan
sendiri.
Kupersilakan
Tuhan duduk. Karena aku tahu dia sibuk sekali mengurusi banyak hamba-Nya,
makanya kupercepat saja sesi ini. Toh dia pasti datang hanya untuk
menceramahiku tentang hidup. Materi spesifiknya apa, itu saja yang belum
kutahu.
Dia
lalu mendekatkan hidungnya pada piring, mengendus masakanku dan tersenyum
tipis.
“Ya,
ini masakanmu, Sayang. Bawang yang kamu tumis di awal sepertinya dimasak dengan
api yang sedang.”
Giliran
aku yang tersenyum. Hebat, ya, dia. Proses yang nyaris tak terlihat itu saja
DIA bisa tahu.
Dia
lalu menggulung spageti dengan garpu dan menyuapkannya ke mulut. Mencecap dengan
ekspresi yang belum bisa kuprediksi. Semoga Tuhan ke sini dalam keadaan tidak
sangat kelaparan. Sebab kondisi tersebut akan membuat sedikit ketimpangan
opini.
“Enak.
Cumi-cuminya kamu masak dengan baik. Tidak terlalu lama dan tidak sebentar
juga. Pas.”
Jika
saja bisa, ingin kudongakan kepalaku tinggi-tinggi. Hanya saja posisi-Nya
melebihi apapun di jagat raya ini. Aku tak berani.
Di
suapan ke empat dia berhenti. Mengelap mulutnya dengan tisu dan meminum air
putihnya sampai habis.
“Masakanmu
enak,” pujinya tulus.
Aku
tersenyum getir. “Tapi tak sanggup membuatku di bilang hebat.”
Tuhan
menggeleng pelan. Saking pelannya, aku seakan tak melihat kepalanya bergerak. “Di
mataku, kau begitu.”
“Hanya
Kau yang bilang.”
“Setidaknya
ada yang menyadari kalau kau hebat, Na,” tandasnya. “Apa aku saja nggak cukup
membuatku senang?”
Aku
tidak tahu. “Entahlah. Hanya saja, aku sering kali diabaikan.”
“Hah,
kau ini. Jangan pernah merasa bahwa kesengsaraanmu di muka bumi adalah tingkat
sengsara yang terparah. Jangan pernah berani berpikir demikian. Aku tidak suka,
Sayang. Kamu itu dicintai. Dengan sangat jelas dan nyata. Olehku. Apalagi yang
kurang?”
“Kenapa
aku tidak seberuntung teman-temanku yang lain?”
“Kenapa
teman-temanmu tidak seberuntung kamu?”
“Hah?”
“Ya,
itu pertanyaan yang sama, yang mereka tanyakan padaku, Sayang. Banyak orang yang
ingin jadi sepertimu. Kuat, mandiri, mampu memecahkan masalah sendiri, dan tak
butuh orang lain untuk bisa berdiri. Tak banyak yang bisa bertahan sepertimu. Beberapa
ada yang membuang kesempatan emas untuk hidup dan menyudahi kontrak napasnya
denganku. Kenapa? Mereka tidak sekuat kau.”
“Kan,
tingkat kuatnya beda-beda.”
“Itulah,
Sayang. Jadi jangan pernah mengukur baju orang lain ke tubuhmu. Hidupmu sudah
begini indahnya, mengapa kamu terus mengeluhkan ini-itu?”
Aku
mulai merasa malu. Ya, dia benar. Pasti banyak orang yang mendambakan bisa
sepertiku. Namun mereka tidak seberuntung aku.
“Berhentilah
mengukur baju orang lain ke tubuhmu. Oke?”
Aku
mengangguk. Tuhan lalu berdiri dan merogoh saku celananya.
“Karena
ini kunjungan pertamaku dan anggaplah aku salah satu pembelimu, izinkan aku
untuk membayar makananku.”
DIA
lalu menyodorkan selembar uang lima ribu. Aku terkekeh.
“Tuhan,
uang segitu beli bawang aja kurang.”
Tuhan
ikut terkekeh. “Ya, aku memang tidak pernah memiliki banyak uang. Tapi aku
harus tetap membayar ini. Aku tidak mau berhutang padamu.”
“Baiklah,
berikan aku apapun yang penting untukmu.”
Tuhan
berpikir sebentar kemudian tersenyum. “Baiklah. Akan kukabulkan salah satu dari
dua doa di top list-mu? Bagaimana?”
Aku
berpikir cepat. Apa, ya, dua doa yang sedang sering kupanjatkan pada-Nya. Aku kok
bisa mendadak lupa.
“Baiklah.
Doanya apa saja?” tanyaku kemudian.
“Doa
yang pertama berbunyi karir gemilang. Doa yang kedua berbunyi jodoh. Yang mana
yang ingin aku kabulkan?”
Aku
tersentak. Tuhan sendiri yang langsung bertanya. Aku harus menjawab apa, ya.
Dua-duanya doa prioritas, sih. Tapi dasar Tuhan. Suka banget ngasih pilihan
sulit.
Namun
dalam waktu lima belas detik hati nuraniku berkata. Aku pun segera menjawab.
“Jodoh,
Tuhan.”
Mata
Tuhan menyipit. “Boleh tahu kenapa memilih itu?”
“Karena
aku minta jodohku adalah seseorang yang kaya.” Tuhan tersenyum. Dia sudah sangat
mengerti aku memang. “Bukan hanya harta, tapi juga hati. Yang tidak akan
berdaya untuk menyakitiku karena takut akan Engkau. Yang tidak akan sanggup
meninggalkanku apalagi hanya untuk seseorang yang lain. Yang menyayangiku sama
seperti aku menyayanginya. Yang akan menghormati keluargaku, yang sama aku
hormati juga keluarganya.”
Aku
melanjutkan. “Jadi tidak apa-apa jika karirku belum gemilang dan harus mengurus
hidup bersama suamiku dulu. Sebab bersama dia, aku nggak akan butuh apa-apa
lagi. Aku akan cukup jika dia membebaskanku tetap berkarya, berkeliling dunia,
dan terus menulis lagi. Dan dengan dia aku juga pasti bisa buka restoranku
sendiri.”
Tuhan
mengangguk. “Baiklah kupertimbangkan dulu calon yang cocok dan segera akan
kukirimkan padamu. Tanpa pos, tanpa titipan kilat apalagi jasa antar.”
Aku
terlonjak girang. “Terima kasih, Tuhan.”
“Terima
kasih juga untuk masakannya. Ini enak sekali.”
Aku
mengantar Tuhan sampai di depan pintu. Sebelum dia meninggalkan rumah, dia
sempat menyalami aku dan menggenggamkan sebuah kertas kecil. Aku sontak
tersenyum geli saat membuka isi tulisan di kertas tersebut.
“Lengkapi
doamu dengan menyebutkan nama dia, tanggal lahir, nama marga, nama keluarga,
nama ayah ibu, orang mana, suku apa, bahasanya apa, agamanya apa, apa golongan
darahnya, apa bintangnya dan seperti apa orangnya secara keseluruhan agar aku
nggak bingung. Kamu bikin karakter cerita aja kudu komplit kan?!”
Aku menutup pintu sambil tetap tersenyum. Tuhan
kadang suka bikin gemes-gemes gimana gitu.
rgrds/ HL