Beberapa waktu lalu saya memutuskan untuk beralih dari penggunaan pembalut sekali pakai ke menstrual cup. Sebenarnya keputusan saya tersebut sudah melalui sebuah kontemplasi panjang dan riset dari berbagai sumber. Entah dari situs beberapa brand hingga experience beberapa orang yang sudah menggunakannya lebih dulu.
Hanya saja saat itu saya masih mempertanyakan diri saya. Saya ingin beralih ke menscup hanya karena mengikuti tren atau memang niat untuk menjaga diri sendiri?
Di artikel ini saya akan share pengalaman saya sendiri mengapa akhirnya saya beralih dari pembalut sekali pakai ke menstrual cup.
Mau Pakai Pembalut Model Apapun, Pastikan Kamu Peduli Dirimu dan Lingkungan Sekitar
Sejak mendapatkan menstruasi pertama, saya tidak pernah suka menggunakan pembalut sekali pakai. Bunyi gesekan plastik di bawah sana dan alergi yang ditimbulkan di kulit paska menstruasi membuat saya kadang ‘tersiksa’ saat si bulan datang.
Waktu itu, saya belum terlalu akrab dengan pembalut kain maupun tampon. Saya cuma tahu satu-satunya yang bisa menyerap darah ya si pembalut yang dijual di pasaran ini. Selain mudah didapat, harga yang dijual juga masih ‘terjangkau’ untuk sekali periode menstruasi.
Saya belum terlalu sadar bahwa sampah plastik yang menggunung bekas pembalut perempuan di seluruh dunia ini sudah sedemikian memprihatinkannya. Sampai kemudian saya melihat sebuah status Leonardo DiCaprio terkait gunung sampah terbesar di dunia yang tak lain adalah TPA Bantar Gebang Bekasi.
Bangga dimention Mas Jack?? Nggak sama sekali. Malu yang ada.
Pengalaman Menggunakan Menstrual Cup
Dari situlah akhirnya saya mulai sedikit demi sedikit tergerak untuk ‘diet plastik’. Mulai dari membeli sedotan stainles, bawa botol minum sendiri sampai bawa kantong belanja sendiri saat ke supermarket atau pasar. Meski masih suka bolong dengan beli air botol kemasan saat kelupaan bawa air, tapi saya tetap berusaha untuk meminimalkan penggunaan sampah plastik saya.
Kemudian saya pun melihat sebuah ulasan mengenai menstrual cup dari Sacha Stevenson, Sisilsm, Agnes Oryza sampai akhirnya yang paling baru adalah Titan Tyra. Makin mantaplah saya untuk mencoba menggunakan menstrual cup.
Untuk beralih dan terbiasa menggunakannya tentu saja tidak mudah. Mengingat menstrual cup tersebut harus saya masukkan ke dalam sana dan tentu saja butuh perjuangan ekstra.
Ada rasa aneh bahkan sakit, karena saya awalnya cukup terintimidasi dengan mulut menscup yang besar dan lebar. Namun, dengan sedikit bantuan dari lubrikan, semuanya jadi lebih mudah. Terutama di percobaan selanjutnya.
Tidak ada lagi perasaan horor dan sakit saat memasukan menscup ke sana. Semuanya karena saya sudah lebih hafal dan mengenali tubuh saya sendiri. Saya bisa dengan mudah merelaksasi diri dan pikiran agar menscup tersebut bisa terpasang dengan benar. Memang, semuanya harus penuh dengan pengorbanan.
Karena sifat menstrual cup adalah menampung dan bukan menyerap darah makanya saya jadi tahu bahwa darah menstruasi tidak se-amis dan se-bau saat saya masih menggunakan pembalut. Saya juga jadi tahu volume darah saya di hari pertama, kedua sampai terakhir menstruasi. Senang sekali bisa lebih kenal sama tubuh sendiri.
Pilihan Berbeda Untuk Tiap Orang
Saya tahu, tidak semua orang bisa dengan mudah dan begitu saja beralih dari pembalut sekali pakai ke menstrual cup atau pembalut kain. Apalagi bentuk menstrual cup yang terlihat mengintimidasi dan memiliki potensi merusak selaput dara bisa langsung meruntuhkan mental sebagian besar perempuan Indonesia yang masih menyanjung tinggi perihal keperawanan.
Saya juga paham bahwa kehadiran menstrual cup yang bisa menjadi opsi yang bagus untuk sebagian besar perempuan (Thank God, saya salah satunya) tidak bisa berlaku juga untuk beberapa perempuan dalam kondisi khusus, salah satunya adalah vaginismus.
Namun saya berharap, apapun pilihan model pembalutnya, kamu dan saya bisa lebih sadar akan risiko dan apa kelebihannya untuk diri sendiri hari ini dan di masa depan. Semoga kita bisa lebih bijak.
rgrds/hl
Be First to Post Comment !
Posting Komentar