Social Media

Show, don't tell!

Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Aku Tak Tahu Harus Menamainya Apa


 
Aku sedang kangen kamu. Ah, kamu pasti langsung memicingkan mata. Kapan aku tidak kangen kamu, kamu pasti bergumam begitu.

Kali ini, kangennya sungguh aneh. Aku sampai terbangun di tengah tidurku, kemudian teringat hal-hal yang dulu jadi rutinitas kita, kemudian menangis begitu saja. Aku kangen bercanda selepas-lepasnya bersamamu. Kangen membicarakan apa saja, seringnya, sih, memang dari aku yang cerita. Kamu yang jadi pendengar.

Sesekali kamu merespon dengan apa yang kuceritakan. Kadang responnya menyebalkan, karena memotong keseruanku saat bicara. Tapi aku menikmati itu. Aku menikmati bagaimana caramu memandangku dengan khusyuk saat aku mengadukan ini itu padamu.

Aku kangen pada kamu yang menerimaku dengan keseleboran dan kadang ketidaktahuanku pada beberapa hal. Namun ucapanmu jadi motivasiku untuk tahu lebih banyak, membaca lebih banyak, berinteraksi dengan orang banyak dan membuatku mengeksplore apa yang sungguh bisa aku lakukan. Rasanya, dulu, alasanku bisa betah berlama-lama bersamamu adalah karena kamu yang membiarkan aku tidak perlu menjadi siapa-siapa. Disitulah... aku merasa aku jatuh cinta.

Aku kangen kita...

Aku kangen kamu yang tiba-tiba memelukku dan membisikan, ‘Aku kangen kamu loh’. Aku kangen kamu yang, tidak sedang diterpa badai, mendadak membawakan setangkai mawar merah yang entah dimana kamu menyembunyikannya. Mawar itu kamu sodorkan ketika aku sedang menyelesaikan bab tulisanku, lalu mencium pipiku dan berkata, ‘Buat kamu!’.

Aku kangen kamu yang banyak mereferensikan lagu dan selalu menjadi favoritku. Aku kangen kamu yang mengajakku melihat dunia lebih besar dan mengangkat daya imajiku lebih tinggi hingga aku tak lagi takut bermimpi. Aku kangen kamu yang membiarkanku tidur di lenganmu. Aku kangen kamu yang secara spontan mencium bibirku ketika aku berpikir tak akan pernah lagi mendapatkannya.

Keanehan lain terjadi. Ketika tanpa sengaja aku melintasi tempat yang pernah kita berada di sana, otomatis aku teringat bagaimana kita saat itu. Atau ketika aku melihat tempat yang pernah aku ajukan padamu untuk kita kunjungi, dan saat itu kamu menolak mentah-mentah, hatiku kontan seakan disayat. Perih, mendengarnya.

Ingat juga bagaimana ekspresimu yang memang seakan tidak ingin mengajak aku ke situ. Lalu kamu mengajakku pulang, sebab kamu lebih memilih menemani dia. Padahal ada aku, persis di depanmu, mati-matian menahan tangis dan berharap bisa mengucapkan, ‘Aku mohon kali ini jangan pergi menemuinya. Hari ini milikku, jangan pedulikan dia’. Namun tak bisa. Kalimat itu tetap berlarian di lorong kepala.

Brengseknya. Aku tetap kangen kamu. Aku tetap selalu menantikan teleponku berdering dan namamu yang muncul di layarnya. Aku tetap selalu menunggu pesan balasan darimu datang. Aku tetap selalu berharap bisa mengirimimu pesan setiap waktu, di saat-saat aku paling perlu keberadaanmu. Saat aku sakit, aku ingin kamu ada, menemaniku, sampai aku tidur karena lelah terjaga. Tapi sampai aku merasa sakitku membaik, kamu tak menemukan alasan untuk menemuiku.

Begitu banyak alasan bagus untukku pergi. Terlalu sering kamu membuat mata dan pipiku basah karena air mata. Terlalu sering kamu mematahkan ekspektasiku tentang akhir pekan yang menyenangkan, berdua bersamamu, pergi ke tempat bagus, seperti yang dulu pernah beberapa kali kita lakukan.

Kamu ingat, kapan kita terakhir, benar-benar hanya ada kita saja, fokus pada perjalanan dimana kita berada? Yang terjadi, setiap berjumpa, kamu selalu gelisah, setiap kali dia mengirimu pesan. Tidak ingin dia curiga, tidak ingin dia khawatir, jadi kamu tetap fokus pada ponselmu. Padahal pertemuanmu dengannya, setiap hari. Sementara aku, seminggu sekali pun tidak pernah full sehari.

Hanya beberapa jam saja. Setiap kali aku sedang mematik apinya, kamu selalu harus segera pergi. Padahal kamu bertemu dengannya setiap hari, sementara denganku sekarang mengobrol saja selalu di negoisasi. Setiap aku ingin banyak bicara padamu, kamu pulang dengan kelelahan setelah pergi bersamanya. Sementara esoknya, ketika aku masih ingin mencoba membuat bara, kamu sibuk lagi, dan membalas pesan ketika hendak pergi... lagi, dengannya.

 Setidakmenarik itukah aku di matamu, sampai berusaha betah saat bersamaku saja tidak mampu?

Aku ingin kita kembali...

Aku kehilangan kebiasaanmu, candaanmu, kenyamananmu, ‘sayang’mu, dan intensitas kita dulu. Seakan ada yang bolong di dalam sini, dan hanya kamu yang bisa mengisi. Karena potongannya itu berupa kamu. Bagaimana agar kamu paham bahwa... aku cuma tidak ingin ditinggal pergi.

Aku sungguh kangen kita...

Ada sebagian dariku yang masih mau menunggu sampai kamu dapat melihat bahwa bukan hanya dia yang perlu kamu tunggui setiap hari. Bukan hanya dia yang perlu kamu antar ke sana kemari. Bukan hanya dia yang perlu kamu jadikan rutinitasmu.

Aku tidak ingin makan sendiri, pergi beli odol sendiri, atau berjalan sendiri lagi. Aku juga memerlukan itu. Dan aku rasa kamu melihat itu, tapi tidak mau mengabulkan keinginanku. Apa yang salah denganku? Perasaanku juga menunggu kamu.

Sungguh aku tidak suka ini. Aku tidak suka aku yang seakan mengemis perhatianmu. Kamu pasti menyadari betul aku juga berhak atas hal tersebut. Aku tak perlu sampai menagih atau menuntut kamu harus bagaimana. Tapi kenapa semakin ke sini, kamu seperti semakin sulit disentuh. Kamu sepertinya jauh sekali.


Aku kangen kamu. Kangen kita. Sampai sakit rasanya ketika aku meneteskan airmata. 




Rgrds/ hl

Tentang Rindu


Aku tahu kamu tidak pernah terlambat, tapi entah kenapa hari ini aku merasa sebaliknya. Kamu akan tidak tepat waktu. Aku harap bukan karena seseorang yang pernah ada di masa lalumu yang menahanmu pergi. Sebab aku tak tahu harus bicara apa jika, lagi, aku tertangkap basah sedang menutupi patah hati dengan kenyataan itu.

Aku menantikan kedatanganmu dengan kesabaran sekaligus ketidaksabaran yang entah masih tebal atau menipis seiring bertambahnya hari. Hanya saja aku seakan tidak lagi bisa duduk diam sekarang.

“Kamu udah lama?” satu suara yang kutunggu telah tiba. Aku tersenyum samar lalu mendongak.
Benar. Itu kamu. “Maaf, tadi aku habis ketemu dosenku dulu. Kamu udah lama?”

Aku segera menggeleng. “Belum terlalu.”

“Belum terlalu sebentar atau belum terlalu lama?” tanyamu, mencandai.

Aku kembali tersenyum, kali ini kutunjukan padamu. Agar kamu melihat ada sesuatu yang sedang kupersiapkan untuk kukatakan tak lama lagi. Semoga usahaku kali ini untuk memberitahukanmu dapat tersampaikan. Kamu, yang terlihat selalu menyenangkan, dengan senyum yang sudah mengikat hatiku sejak pertama kali bersalaman dulu, rupanya memang tidak dapat membaca isyarat itu dengan cepat. Tak apa. Toh aku sudah memutuskan untuk memberitahu. Mau tersirat atau langsung terucap aku akan berusaha untuk bicara.

“Sudah pesan?” tanyamu sambil membolak-balik buku menu, sibuk mencari daftar makanan.

“Kenapa saya lapar sekali, ya? Padahal kemarin saya habis makan spageti loh.”

“Makannya, kan, kemarin. Tentu aja sekarang laper. Kamu gimana, sih?”

Kamu menoleh padaku sambil tersenyum. Tiba-tiba saja punggung tanganmu mendarat lembut di pipiku lalu mengusapnya perlahan.

“Kamu mau pesan apa?” tanyamu sambil menatap mataku. Ya, menatap tepat di manik mata dan kembali merampas apa yang mati-matian kupertahankan. Keberanianku mengaku akan perasaan. Apa aku bisa jujur pada hati sendiri jika begini caramu memandang? Apa aku bisa leluasa mengucap aku tak mau pergi, tapi keadaan yang menyuruhku untuk segera mengambil keputusan? Ah, aku benar-benar tak bisa lagi lari dari realita. Aku sayang padamu sampai aku tidak bisa mengucapkan kalimat sesederhana itu.

“Apapun yang kamu pesan, boleh dikalikan dua,” ucapku santai.

Kamu mengangguk cepat lalu segera memanggil waiters. Nasi goreng kambing dua porsi dan air es yang kamu pesan tak lama segera diantarkan. Tanpa menunggu lama, dengan lahap kamu menyantap nasi goreng di atas piring. Aku terlalu sibuk menikmati pemandangan ini sampai kenyang datang lebih cepat padahal aku baru makan sesuap.

“Katanya tadi laper. Kok makannya dikit?” tanyamu ketika sadar sebagian besar nasi goreng di piringku tak tersentuh.

Aku tak menjawab. Kuulurkan tanganku padamu. Kamu menyambutnya dan segera menggenggamnya. Genggaman yang menenangkan, sekaligus menghanguskan hatiku sekarang. Genggaman ini harus segera kulepaskan.

“Aku rasa ini nggak bisa lagi diteruskan, Hun.”

Punggungmu menegak seketika. Senyum di wajahmu tergusur muram yang kentara. Genggamanmu semakin erat dan hatiku semakin nelangsa. Andai saja aku bertemu kamu lebih awal,...

“Kita sudah bicarakan ini berulang kali dan kita sudah sepakat. Kenapa mengungkitnya lagi?”

“Karena ‘kita’ tuh nggak mungkin. Aku ini seperti cameo yang cuma numpang lewat dalam lini ceritamu. Ketika durasi habis, peranku akan selesai. Tetap romance involvement dari tokoh sentral yang bertahan. Dan itu bukan aku.”

Kucoba sembunyikan mataku yang memerah menahan tangis. Semoga kali ini aku tak tertangkap basah. Sayangnya aku lupa, kamu terlalu pandai untuk mengetahui perubahanku. Aku tahu kamu tidak bisa meninggalkan dia yang sudah kamu perjuangkan sampai gila segila-gilanya. Kamu jatuh cinta pada segala hal tentangnya, bahkan bayangannya pun bisa kamu puja. Kamu yang merasa bertanggung jawab pada kesalahan-kesalahan masa lalumu selalu membuat pemakluman sikap dia yang terkadang seenaknya. Kamu yang merasa ini adalah bagian dari hukum timbal balik sebab akibat, merasa pantas untuk diperlakukan demikian. Andai kamu sadar, ada orang lain yang tidak pernah memaksamu menjadi apa-apa hanya agar dicari. Kamu tidak pernah sadar jika ada orang yang bisa lebih menyayangi tanpa perlu kamu mencari mimpi. Bersamanya, kamu bisa jadi dirimu sendiri.

“Aku...”

“Aku ngerti. Kamu nggak perlu bilang apa-apa lagi. Kamu bebas dari segala janji. Kamu bisa kembali ke dia sekarang.” Tenggorokanku tercekat saat akan melanjutkan kalimat. Tapi aku tetap harus mengatakannya. “Tapi... bukan salahku terlambat datang ke hidupmu. Jadi, jangan lagi salahkan waktu.”

Genggamanmu belum terlepas, namun tangan ini... bukan hanya untukku kamu berikan nyamannya. Jika aku boleh egois, aku tak ingin mengurainya begitu saja. Namun malaikat bilang aku tidak boleh keras kepala kali ini. Entah istilahnya aku atau kamu yang pergi, tapi yang jelas kita tidak bisa bersama-sama lagi.

"Kamu cinta aku?”

Mataku terpejam sesaat. Hanya dengan cara itu aku menyembunyikan jawaban ‘YA’ dari pertanyaanmu barusan. Aku menggeleng enggan.

“Jatuh cinta sama orang bodoh kayak kamu? Aku pasti udah gila.”

Pelan, genggaman tanganmu mengendur. Sakit di dadaku semakin menekan dan menghujam. Pandanganku yang sehitam jelaga mulai terang tatkala kubuka mata. Kamu masih dengan ekspresi sungkan pergi, tapi aku yang menguatkan hati agar tidak kembali.

“Aku pergi, ya.”

Tanpa menunggu kalimat dramatis yang mungkin bisa membuat perpisahan ini jadi lebih haru, atau pelukan terakhir yang pernah kupikir akan diberi, atau ciuman selamat tinggal yang mungkin bisa jadi sinyal kecil tentang kuatnya rasa tak kunjung terjadi. Aku tahu, aku terlalu banyak baca novel kacangan akhir-akhir ini.

Aku tak menoleh lagi. Mantap, kuayunkan kaki.

Saat Kamu Memutuskan Berhenti


Aku dulu pernah bilang, bahwa perjalanan ini akan dua kali lebih melelahkan karena kamu hanya sendirian. Kamu tak peduli dan malah membalas jika ini adalah bagian dari pengorbanan. Semua orang melakukannya demi orang yang dicintainya. Sebagai teman, aku bukannya bosan selalu kamu telepon di tengah malam hanya untuk mengeluhkan dia yang kembali tak sanggup memenuhi janji. Perjumpaan yang sudah kalian rencanakan susah payah terpaksa batal dikarenakan mendadak ada pekerjaannya yang mengharuskannya tidak pergi. Aku sudah bilang, berhentilah merelakan dirimu di sakiti. Lelaki yang punya pesona dan bisa memperlakukanmu dengan baik bukan cuma dia.

“Dia tahu bagaimana cara memperlakukanku layaknya Ratu. Dia bisa membaca segala keinginanku sebelum aku minta.” Wajahmu muram, tapi matamu masih juga menyiratkan rindu yang tidak memudar.

“Kalau begitu kamu pacaran saja dengan dukun atau cenayang. Mereka pasti bisa membaca pikiranmu sebelum kamu bicara,” kataku agak senewen.

Kamu tak menanggapi lagi. Malam itu, kamu menghabiskan sekotak tisuku untuk mengusap tangis. Aku sebetulnya tak tega. Tapi masalah hati bukanlah perkara yang bisa diselesaikan secara musyawarah. Dalam kasus ini, hanya dua orang yang punya tanggung jawab penuh bagaimana cara mengatasi, kamu dan dia. Meskipun aku lebih melihat kamulah yang terus berjuang bagaimana caranya agar tetap bisa menemuinya barang sebentar. Sedangkan dia hanya mau menemuimu saat dia ingin melarikan diri dari dunianya.

Aku telah merelakan diri bolak-balik mengantarmu ke rumah sakit untuk bertemu dokter saat kamu lagi-lagi tidak bisa tidur selama dua hari. Aku tidak ambil pusing harus duduk bagai patung dan fokus melihatmu meratapi ketiadaannya saat menyaksikan film yang pernah kalian tonton berdua. Aku masih tak keberatan jika harus memasak hanya agar kamu bisa makan, meski sebagian besar hasil kreasiku berakhir di tempat sampah. Apapun asal bisa berada di dekatmu, entah itu masa burukmu sekalipun, aku tak masalah.

“Kapan terakhir kalian mengobrol di telepon?” tanyaku saat menyuapimu dengan bubur ayam yang kubeli dalam perjalanan menuju ke sini.

“Dua hari lalu. Tak banyak yang kami bicarakan. Dia hanya bilang bahwa saat pekerjaannya selesai, dia akan kemari. Aku harus bersabar dulu.”

“Bersabar dulu?” tanyaku sambil membelalakan mata. “Dia pikir dia siapa sampai bisa membuatmu harus menghabiskan hidup terikat seperti ini?”

“Aku yang ingin, Ka. Aku yang sudah menyanggupi diri untuk menunggu. Dia tidak menyuruhku berusaha, tapi aku bersikukuh.”

Aku memandangimu tak percaya. “Kenapa kamu mau? Kamu bisa hidup bebas tapi kamu memilih untuk di pasung.”

“Aku mencintainya, Ka. Aku nggak bisa melepaskannya. Aku percaya suatu saat arah hatinya akan berbalik padaku. Cuma waktunya saja yang memang belum pas.”

Kuletakan mangkuk bubur yang kupegang di atas meja. Takut jadi pelampiasan karena sekarang aku rasanya ingin membanting sesuatu.

“Tidak pernah ada waktu yang akan pas untuk kalian berdua,” ujarku dengan nada keras. “Sadarlah jika dia tidak akan pernah bisa bersamamu. Apa yang kamu harapkan dari seorang laki-laki yang sejak semula sudah menyatakan diri tak bisa balas mencintaimu?”

Aku menangkap kecewa dan luka di matamu. Aku kuatkan hati. Jika tidak seperti ini, kamu tidak akan pernah mau sadar untuk segera bangun dari mimpi.

“Sadarlah, dia hanya memanfaatkanmu. Dia mau datang ke sini hanya saat dia butuh teman di tempat tidur. Dia menemuimu saat dia kehabisan ide untuk tulisannya. Dia hanya mau mengangkat teleponmu setelah sebelumnya kamu meratap dan mengiba padanya. Apa nggak bisa kamu memandang dirimu dengan lebih berharga? Kenapa remeh sekali kamu memperlakukan diri sendiri?”

Kamu terus menghela napas dalam untuk menekan tangis tapi aku tahu kamu tidak akan sanggup.

“Aku bukan siapa-siapa, Ka. Bisa bersama seseorang seperti Bima adalah hal yang tidak pernah berani aku mimpikan. Aku berusaha agar bisa layak untuknya...”

“Kenapa kamu harus terus menerus melakukan segala sesuatu hanya agar dia melihatmu?” aku menggigit bibirku sendiri untuk menahan emosi. “Bukan di tangannya kebahagiaanmu diciptakan. Bukan padanya tujuan dari setiap perjalanan dan karya yang kamu hasilkan. Bukan cuma dia yang perasaannya harus kamu pedulikan. Berhentilah pura-pura buta.”

Kamu mulai menangis lagi. Kepalamu tertunduk namun aku tak melakukan apa-apa. Kamu tahu, di sini bukan hanya kamu yang sedang memendam cinta. Tapi kamu selalu menutup mata dan tak mau meluangkan kesempatan yang sama. Kamu memberi batas seolah kamu hanya boleh di cinta oleh orang yang sebelumnya tidak pernah berteman denganmu lebih dulu. Padahal aku jauh lebih tahu dan bisa memahami segala jenis keanehanmu lebih baik dari dia.

“Aku... nggak bisa...”

“Bukan nggak bisa, tapi kamu nggak mau,” ucapku tandas. Aku tahu apa konsekuensi yang akan aku terima jika bicara sekali lagi. Aku siap jika harus kehilanganmu, asal kamu berhenti dari segala kekonyolan ini. “Kamu jelas tahu kalau jatuh cinta dan patah hati sudah ada dalam satu paket dan sama-sama butuh keberanian untuk menghadapinya. Jika kamu tidak siap dengan salah satunya, jangan biarkan dirimu terjebak di satu sisi saja. Selain buang waktu, kamu juga yang akan rugi.” Kuhela napas sekali lagi. “Saat esok kamu memutuskan berhenti, kamu pasti akan kaget dengan ketiadaannya. Kamu mungkin sesekali rindu dengan suara atau keberadaannya. Akan tetapi, ketimbang mempertanyakan kapan hujan akan reda, bukankah lebih menyenangkan bermain dan menari di bawah curahnya?”

Aku bangun dan berjalan meninggalkanmu yang tetap tidak bersuara. Aku sudah mempersiapkan perpisahan ini jauh-jauh hari. Aku sadar aku bukan lelaki yang bisa sejajar denganmu karena banyak hal. Tidak berprestasi, tidak berpenghasilan tinggi, dan tidak bisa menulis puisi. Aku hanya manusia biasa yang tidak kaya diksi dan tidak mahir bermetafora. Tapi aku percaya diri kalau perasaanku ini jauh lebih bisa dipertangungjawabkan ketulusannya daripada dia. 

Aku tahu pasti kamu butuh lebih banyak waktu untuk mencari jalan kembali pada independensimu. Tak apa. Toh aku tidak akan kemana-mana. Jika suatu hari nanti kamu sudah selesai dengan luka-luka tentangnya, kamu tahu bisa mencariku di mana.



Rgrds



HL